Kasus Diego Mendieta, Potret Kecil
Buruknya Sepak Bola Indonesia |
Arena
Kematian memang bisa menjemput manusia
kapan saja tanpa pernah bisa diduga. Namun
demikian, kematian tragis Diego Mendieta patut
disesalkan. Mantan pemain Persis Solo asal
Paraguay itu menghembuskan napas terakhir
dalam kesendirian dan ketidakadilan.
Hingga ujung hayat, Diego masih belum menerima
gaji selama empat bulan sebesar Rp120 juta. Hak
yang tak terbayarkan ini meninggalkan keprihatinan
mendalam. Inilah puncak gunung es karut-
marutnya tatanan sepak bola Indonesia.
Bukan rahasia lagi bahwa banyak pemain di
kompetisi Indonesia yang belum menerima gaji —
baik itu di LSI (versi KPSI) maupun LPI (versi PSSI).
Penyebabnya? Ketidakbecusan pengelola sepak
bola di negeri ini.
Di Indonesia, kompetisi level negara nyaris tak
berbeda dengan turnamen antarkampung.
Maklum, tak pernah dibangun berdasarkan studi
kelayakan. Tidak ada riset dan kalkulasi berapa
biaya minimal yang harus dikeluarkan sebuah klub
untuk ikut kompetisi. Akibatnya, tidak ada kejelasan
dari mana saja klub seharusnya menggali sumber
dana.
Selanjutnya, tak diketahui daerah mana yang
pantas menyelenggarakan kompetisi di lapis satu-
dua-tiga-dan seterusnya. Tidak pula diperhitungkan
apakah kota tertentu memiliki daya beli tiket dan
suvenir klub. Tak ada pula aturan tentang siapa
yang berhak punya klub dan tak ada aturan
kepemilikan saham. Tak ada panduan bagaimana
dan oleh siapa semestinya klub dikelola,
bagaimana keamanan kompetisi diurus,
bagaimana klub diberi kompas untuk menjaring
dana/sponsor.
Ini semua tak pernah jelas.
Mungkin Indonesia satu-satunya negara besar di
dunia dengan kompetisi (yang katanya profesional)
tanpa fondasi yang kuat, bagus, baik, dan benar.
Padahal, selain sebagai industri hiburan, kompetisi
profesional juga berfungsi sebagai muara
pembinaan sepak bola sebuah negeri. Tapi
sepertinya di Indonesia, kedua fungsi ini diabaikan.
Pendeknya, kompetisi Indonesia tak punya desain
besar. Andai ada, itu cuma macan kertas. Prinsip
"pokoknya jalan" menjadi kunci. Itulah sebabnya
konfigurasi jadwal pertandingan pun belang
bonteng. Masa kompetisi dari musim ke musim
selalu tak jelas. Rencana dibuat parsial. Sanksi dan
aturan bisa direkayasa kapan saja sesuai
kepentingan. Kompetisi amburadul.
Dari sini, kita tidak heran lagi bila klub bergerak liar
(misalnya dengan membeli pertandingan dan
bahkan gelar juara). Kita juga tidak heran bila
kompetensi wasit amatlah rendah. Wasit tidak
becus, wasit mudah "dititipi", juga wasit yang jadi
bulan-bulanan pemain karena sering
menghadiahkan penalti di menit-menit terakhir
suatu pertandingan.
Kita juga tidak heran bila tiada standar kualitas
pemain, maklum yang memilih pemain adalah
pengurus klub (bukannya pelatih). Padahal para
pemain ini ujung tombak kompetisi kasta tertinggi
dengan putaran uang ratusan miliar rupiah.
Uang itu seperti dibakar tanpa ada hasil yang bisa
dibanggakan. Yang muncul justru masalah demi
masalah mendasar.
Kompetisi profesional bukanlah sesuatu yang
berdiri sendiri dalam sistem sepak bola sebuah
negara. Dia hanyalah puncak piramida pembinaan.
Tentu saja kompetisi puncak membutuhkan
topangan dari bawah. Fondasi harus kuat. Tatanan
harus jelas. Dengan sebuah piramida, pengelola
dan pelaku sepak bola menjadi paham di mana
peta mereka dan ke mana tujuan. Tanpa itu semua
Indonesia menjadi sulit dan mungkin tidak akan
pernah berprestasi.
Memang Indonesia pernah juara SEA Games 1991,
meski belum punya piramida pembinaan. Tetapi itu
21 tahun yang lalu. Kini dunia sudah berubah.
Sepak bola dan pengelolaannya berevolusi tanpa
henti. Indonesia tidak bisa hanya bermodalkan
romantisme, mengenang kejayaan masa lalu,
seolah-olah dunia tidak bergerak.
Indonesia juga tidak bisa naif menyalahkan konflik
PSSI-KPSI sebagai biang keladi kegagalan. Betul,
konflik memang menyebabkan tim nasional tidak
diperkuat pemain terbaik. Tetapi tanpa konflik pun
kita sudah kesulitan berprestasi. Ingat, pada Piala
AFF 2010 kita juga gagal juara.
Sudah saatnya PSSI membuat cetak biru piramida
pembinaan dan pengelolaan sepak bola. Membuat
liga berjenjang yang dijalankan dengan teratur dan
konsisten adalah syarat mutlak. Berbagai lapisan
kompetisi itu akan melahirkan pemain dalam
jumlah besar dari tahun ke tahun. Dia juga akan
membutuhkan panitia pertandingan dalam jumlah
banyak. Dia pun akan memerlukan kurikulum sepak
bola.
Sudah saatnya pula PSSI membenahi dan
menyusun ulang konsep kompetisi profesional di
negeri ini. Jangan lagi hanya mengandalkan prinsip
parsial dan asal jalan saja. Perhitungan hak dan
kewajiban setiap pelaku dalam bungkus industri
menjadi penting. Jangan biarkan lagi klub amatir
dan sumber dana tak jelas bisa mudah ikut liga.
Jangan lagi ada pemain yang bayarannya macet.
Jangan lagi ada pertandingan yang berubah jadi
pameran jurus pencak silat. Jangan lagi ada wasit
yang berfungsi ganda (terima titipan duit, juga
terima bogem mentah pemain).
Sumber: yahoo.com
Buruknya Sepak Bola Indonesia |
Arena
Kematian memang bisa menjemput manusia
kapan saja tanpa pernah bisa diduga. Namun
demikian, kematian tragis Diego Mendieta patut
disesalkan. Mantan pemain Persis Solo asal
Paraguay itu menghembuskan napas terakhir
dalam kesendirian dan ketidakadilan.
Hingga ujung hayat, Diego masih belum menerima
gaji selama empat bulan sebesar Rp120 juta. Hak
yang tak terbayarkan ini meninggalkan keprihatinan
mendalam. Inilah puncak gunung es karut-
marutnya tatanan sepak bola Indonesia.
Bukan rahasia lagi bahwa banyak pemain di
kompetisi Indonesia yang belum menerima gaji —
baik itu di LSI (versi KPSI) maupun LPI (versi PSSI).
Penyebabnya? Ketidakbecusan pengelola sepak
bola di negeri ini.
Di Indonesia, kompetisi level negara nyaris tak
berbeda dengan turnamen antarkampung.
Maklum, tak pernah dibangun berdasarkan studi
kelayakan. Tidak ada riset dan kalkulasi berapa
biaya minimal yang harus dikeluarkan sebuah klub
untuk ikut kompetisi. Akibatnya, tidak ada kejelasan
dari mana saja klub seharusnya menggali sumber
dana.
Selanjutnya, tak diketahui daerah mana yang
pantas menyelenggarakan kompetisi di lapis satu-
dua-tiga-dan seterusnya. Tidak pula diperhitungkan
apakah kota tertentu memiliki daya beli tiket dan
suvenir klub. Tak ada pula aturan tentang siapa
yang berhak punya klub dan tak ada aturan
kepemilikan saham. Tak ada panduan bagaimana
dan oleh siapa semestinya klub dikelola,
bagaimana keamanan kompetisi diurus,
bagaimana klub diberi kompas untuk menjaring
dana/sponsor.
Ini semua tak pernah jelas.
Mungkin Indonesia satu-satunya negara besar di
dunia dengan kompetisi (yang katanya profesional)
tanpa fondasi yang kuat, bagus, baik, dan benar.
Padahal, selain sebagai industri hiburan, kompetisi
profesional juga berfungsi sebagai muara
pembinaan sepak bola sebuah negeri. Tapi
sepertinya di Indonesia, kedua fungsi ini diabaikan.
Pendeknya, kompetisi Indonesia tak punya desain
besar. Andai ada, itu cuma macan kertas. Prinsip
"pokoknya jalan" menjadi kunci. Itulah sebabnya
konfigurasi jadwal pertandingan pun belang
bonteng. Masa kompetisi dari musim ke musim
selalu tak jelas. Rencana dibuat parsial. Sanksi dan
aturan bisa direkayasa kapan saja sesuai
kepentingan. Kompetisi amburadul.
Dari sini, kita tidak heran lagi bila klub bergerak liar
(misalnya dengan membeli pertandingan dan
bahkan gelar juara). Kita juga tidak heran bila
kompetensi wasit amatlah rendah. Wasit tidak
becus, wasit mudah "dititipi", juga wasit yang jadi
bulan-bulanan pemain karena sering
menghadiahkan penalti di menit-menit terakhir
suatu pertandingan.
Kita juga tidak heran bila tiada standar kualitas
pemain, maklum yang memilih pemain adalah
pengurus klub (bukannya pelatih). Padahal para
pemain ini ujung tombak kompetisi kasta tertinggi
dengan putaran uang ratusan miliar rupiah.
Uang itu seperti dibakar tanpa ada hasil yang bisa
dibanggakan. Yang muncul justru masalah demi
masalah mendasar.
Kompetisi profesional bukanlah sesuatu yang
berdiri sendiri dalam sistem sepak bola sebuah
negara. Dia hanyalah puncak piramida pembinaan.
Tentu saja kompetisi puncak membutuhkan
topangan dari bawah. Fondasi harus kuat. Tatanan
harus jelas. Dengan sebuah piramida, pengelola
dan pelaku sepak bola menjadi paham di mana
peta mereka dan ke mana tujuan. Tanpa itu semua
Indonesia menjadi sulit dan mungkin tidak akan
pernah berprestasi.
Memang Indonesia pernah juara SEA Games 1991,
meski belum punya piramida pembinaan. Tetapi itu
21 tahun yang lalu. Kini dunia sudah berubah.
Sepak bola dan pengelolaannya berevolusi tanpa
henti. Indonesia tidak bisa hanya bermodalkan
romantisme, mengenang kejayaan masa lalu,
seolah-olah dunia tidak bergerak.
Indonesia juga tidak bisa naif menyalahkan konflik
PSSI-KPSI sebagai biang keladi kegagalan. Betul,
konflik memang menyebabkan tim nasional tidak
diperkuat pemain terbaik. Tetapi tanpa konflik pun
kita sudah kesulitan berprestasi. Ingat, pada Piala
AFF 2010 kita juga gagal juara.
Sudah saatnya PSSI membuat cetak biru piramida
pembinaan dan pengelolaan sepak bola. Membuat
liga berjenjang yang dijalankan dengan teratur dan
konsisten adalah syarat mutlak. Berbagai lapisan
kompetisi itu akan melahirkan pemain dalam
jumlah besar dari tahun ke tahun. Dia juga akan
membutuhkan panitia pertandingan dalam jumlah
banyak. Dia pun akan memerlukan kurikulum sepak
bola.
Sudah saatnya pula PSSI membenahi dan
menyusun ulang konsep kompetisi profesional di
negeri ini. Jangan lagi hanya mengandalkan prinsip
parsial dan asal jalan saja. Perhitungan hak dan
kewajiban setiap pelaku dalam bungkus industri
menjadi penting. Jangan biarkan lagi klub amatir
dan sumber dana tak jelas bisa mudah ikut liga.
Jangan lagi ada pemain yang bayarannya macet.
Jangan lagi ada pertandingan yang berubah jadi
pameran jurus pencak silat. Jangan lagi ada wasit
yang berfungsi ganda (terima titipan duit, juga
terima bogem mentah pemain).
Sumber: yahoo.com
Simpan Artikel Ini Alasan Yang Tepat Kenapa Saya Tak Pernah Bisa Mencintai (Sepak Bola) Indonesia Dengan Link : https://neoblogku.blogspot.com/2012/12/ini-alasan-yang-tepat-kenapa-saya-tak.html
Judul : Ini Alasan Yang Tepat Kenapa Saya Tak Pernah Bisa Mencintai (Sepak Bola) Indonesia.
Kategori : Artikel
Ditulis oleh : Unknown Pada Wednesday, December 5
Bagikan Ke : Facebook / Twitter
Kategori : Artikel
Ditulis oleh : Unknown Pada Wednesday, December 5
Bagikan Ke : Facebook / Twitter
namanya juga indonesia mas. heheh
ReplyDeleteMembanggakan indonesia itu wajib ya bro... tapi kadang bingung... apa yang mau kita banggakan kalo keadaanya seperti beginu...
DeleteSangat miris Sepak Bola Indonesia...
ReplyDeleteDiatasnya miris apa ya??? spt itulah...
DeleteSaya setuju dengan agan, sangat sulit bagi saya utk mencintai sepakbola negri ini.
ReplyDeleteSehati bro... met pagi...
Deleteiya betul gan..
ReplyDeletegara2 sepakbola jadi banyak tawuran, judi..:'(
Intinya, Tak bisa dibanggakan.... terutama pada managemen-nya... isinya orang2 bobrok kali ya?
DeleteTurut prihatin dengan kasus Diego Mendieta....
ReplyDeleteTernyata bgitu parah kasus persepakbolaan di indonesia....
(sok ngerti hehe...)
Jangan lp mampir y,Sob.... :)